Apa Profilaksis Pascapajanan Itu?
Profilaksis berarti pencegahan infeksi dengan obat. Pajanan adalah peristiwa yang menimbulkan risiko penularan. Jadi profilaksis pascapajanan (atau PPP) berarti penggunaan obat untuk mencegah infeksi setelah terjadi peristiwa yang
berisiko.
Terkait dengan PPP, ada tiga macam pajanan itu:
Pajanan di tempat kerja. Pajanan ini biasa terjadi dalam sarana medis, dan berasal jika darah, air mani, cairan vagina atau ASI dari seorang yang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang lain, dalam hal ini biasanya petugas perawatan kese- hatan. Peristiwa yang termaksud biasa- nya kecelakaan akibat tertusuk jarum suntik bekas pakai secara tidak sengaja pada petugas. Pajanan juga dapat terjadi dengan pisau bedah, atau jika darah atau cairan lain pasien kena luka terbuka, atau mulut, hidung atau mata petugas atau orang lain.
Pajanan akibat hubungan seks berisiko, misalnya bila kondom pecah atau lepas saat seorang Odha berhubung- an seks dengan pasangan HIV-negatif.
Pajanan akibat perkosaan. Pemer- kosa hampir pasti tidak memakai kon- dom. Tambahannya, jika hubungan seks terjadi secara paksa, yang sering disertai kekerasan, risiko penularan lebih tinggi. Risiko Penularan Akibat Pajanan di Tempat Kerja
Kemungkinan terjadinya penularan akibat tertusuk jarum suntik adalah rendah: rata-rata 0,3%. Kurang lebih satu dari 300 kasus akan menghasilkan infeksi HIV pada petugas kesehatan, bila tidak dilakukan tindakan pencegahan.
Risiko lebih tinggi jika:
Jangan panik! Namun segera lakukan tindakan.
Luka tusuk: bilas dengan air mengalir dan sabun atau antiseptik. Jangan dihisap
dengan mulut, dan jangan ditekan karena ini tidak berguna. Desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan betadine selama lima menit atau alkohol selama tiga menit.
Pajanan mulut: ludahkan dan ber- kumur.
Pajanan hidung: hembuskan keluar dan bersihkan dengan air.
Pajanan mata: bilas selama beberapa menit dengan air bersih.
Hubungan seks: jangan bilas vagina.
Setelah dibersihkan, laporkan pajanan agar dapat segera diselidiki.
Keputusan harus diambil apakah PPP akan dimulai, berdasarkan hasil penye- lidikan. Keadaan yang dianggap cukup berat untuk mulai PPP termasuk:
PPP dilakukan dengan penggunaan obat antiretroviral (ARV) – lihat Lembar- an Informasi (LI) 403. Menurut pedoman Kemenkes, paduan yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT + 3TC + LPV/r. Nevirapine tidak boleh dipakai untuk PPP.
PPP harus dimulai secepatnya setelah pajanan, sebaiknya dalam empat jam dan tidak lebih dari 72 jam.
PPP harus dilangsungkan selama empat minggu, tetapi boleh dihentikan jika ada efek samping yang berat. Jika pasien sumber pajanan ternyata HIV-negatif, dan tidak ada kemungkinan dia masih dalam masa jendela, PPP dapat dihen- tikan. Namun tes HIV pada pasien sumber harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan – lihat LI 102. Jelas, keraha- siaan harus dijamin.
Diusulkan orang yang terpajan melaku- kan tes HIV pada awal (tidak lebih dari 24 jam), dan pada bulan ke-3 dan ke-6 setelah pemberian PPP.
Orang yang terpajan harus segera diberi konseling, dan konseling harus tersedia lagi selama masa memakai PPP.
PPP dapat juga disediakan dalam kasus pajanan dalam hubungan seks, misalnya perkosaan atau keadaan pecah kondom pada pasangan suami-istri.
Efek samping yang paling umum ter- masuk mual dan rasa tidak nyaman. Efek samping lain dapat dilihat pada lembaran informasi masing-masing obat.
Harus diingat bahwa ada beberapa infeksi lain yang diangkut darah, dengan daya menular yang jauh lebih tinggi dibandingkan HIV. Infeksi ini termasuk virus hepatitis B dan C, yang sering menyertai HIV pada orang yang terin- feksi melalui penggunaan jarum suntik bergantian. Semua infeksi ini dapat dicegah dengan penggunaan kewas- padaan standar (lihat LI 811). Kewas- padaan ini termasuk penggunaan sarung tangan lateks dan pelindung lain waktu melaksanakan tindakan yang berisiko pada semua pasien, bukan hanya mereka yang diketahui terinfeksi penyakit tersebut. Dapat dilakukan upaya PPP akibat pajanan virus hepatitis B, tetapi belum ada untuk virus hepatitis C. Garis Dasar
Profilaksis pascapajanan (PPP) adalah penggunaan ARV secepatnya setelah terjadi peristiwa yang berisiko penularan HIV, untuk mencegah infeksi HIV. PPP dapat mengurangi risiko terinfeksi hingga 79%.
PPP hanya dipakai setelah penyelidikan menunjukkan ada risiko pada orang yang terpajan. Hanya 0,3% pajanan meng- hasilkan infeksi HIV. Karena ARV dapat menyebabkan efek samping yang cukup berat, sebaiknya PPP hanya dipakai jika benar-benar dibutuhkan.
PPP terdiri dari tiga obat yang dipakai dua kali sehari selama empat minggu. PPP tidak 100% efektif; berarti PPP tidak menjamin pajanan pada HIV tidak akan menghasilkan infeksi.
Cara terbaik untuk mencegah terjadinya penularan pada sarana medis adalah melaksanakan kewaspadaan standar pada semua pasien.
Diperbarui 7 April 2014 berdasarkan beberapa sumber
Diterbitkan oleh Yayasan Spiritia, Jl. Johar Baru Utara V No. 17, Jakarta 10560. Tel: (021) 422-5163/8 E-mail: [email protected] Situs web: http://spiritia.or.id/
Semua informasi ini sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
Seri Lembaran Informasi ini berdasarkan terbitan The AIDS InfoNet. Lihat http:// www.aidsinfonet.org