Tuberkulosis (TBC) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Pada saat bersamaan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi Tuberkulosis di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TBC di masyarakat. Kedua masalah kesehatan ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TBC dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TBC tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TBC merupakan salah satu infeksi oportunistik yang banyak terjadi dan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV AIDS. Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan satu keharusan agar mampu menanggulangi kedua penyakit tersebut secara efektif dan efiisien.
Laporan Tuberkulosis Global WHO tahun 2020 menyoroti bahwa secara global 44% ODHIV dengan TBC tidak didiagnosis pada tahun 2019. Oleh karena itu, meningkatkan deteksi TBC di antara orang yang hidup dengan HIV sangat penting termasuk didalamnya terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) bagi ODHIV telah terbukti secara signifikan mengurangi kematian karena TBC. Meskipun secara global baru 50% ODHIV yang memulai TPT pada 2019, perluasan dan peningkatan cakupan TPT telah dimulai di banyak negara.
Para Kepala Negara pada Pertemuan Tingkat Tinggi PBB tentang TBC (UN-HLM) pada tahun 2018 telah menekankan ada urgensi besar untuk meningkatkan program kesehatan berupa sebuah tindakan kongkrit untuk menyerukan kepada pemerintah dan pemangku kepentingan program lainnya agar menepati janji yang mereka buat dan mempercepat cakupan terapi pencegahan TBC (TPT) bagi mereka yang membutuhkan. Masih ada waktu tersisa sekitar 18 bulan agar komitmen yang dibuat bersama dalam UN-HLM dapat terwujud untuk mencapai setidaknya 30 juta orang agar dapat mendapatkan program terapi pencegahan tuberkulosis ini sehingga target pada 4 juta kontak TBC di bawah usia 5 tahun dan 20 juta kontak yang lebih tua, serta 6 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2022 dapat tercapai.
Berkaitan dengan peringatan Hari AIDS Sedunia 2021 yang bertema “Akhiri AIDS, Cegah HIV, Akses untuk Semua” Pemberian terapi pencegahan TBC akan membutuhkan sebuah upaya dan investasi yang besar, hal ini sangatlah relevan berkaitan dengan adanya pandemi Covid19 yang akan menjadi tantangan tersendiri dalam kegiatan Kolaborasi TB-HIV khususnya berkaitan dengan penyediaan rantai pasokan dan implementasi program. Pengumpulan dan analisis data TBC dari 200 negara menunjukkan berkurangnya akses ke pelayanan kesehatan baik di fasilitas rawat jalan maupun rawat inap, yang berdampak pada seluruh rangkaian perawatan TB-HIV.
Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 menunjukkan, baru 51% pasien TBC mengetahui status HIV dan 43% di antaranya mendapat pengobatan antiretroviral (ARV). Sedangkan skrining TBC dilakukan pada 80% orang dengan HIV yang berkunjung ke layanan ARV, namun baru sekitar 12% ODHIV yang masuk perawatan HIV di Indonesia mendapat terapi pencegahan TBC (TPT).
Berbagai tantangan yang berkontribusi belum maksimalnya pencapaian khususnya indikator pemberian terapi pencegahan TBC (TPT) bagi ODHIV antara lain;
Oleh karena itu,seluruh pemangku kepentingan program TB-HIV bersama organisasi masyarakat sipil TB-HIV untuk membuat “call to action” yang kuat untuk meningkatkan pada akses terapi pencegahan TBC melalui tindakan yang nyata seperti;
Jakarta, Desember 2021
Yakub Gunawan
Chair of SWG TB-HIV Indonesia.
Sourches;