Pemahaman dokter mengenai penatalaksanaan HIV sangat penting, mengingat obat antiretroviral mempunyai efek samping. Karena itu, perlu pelatihan berkelanjutan mengenai penatalaksanaan HIV serta ada standar kurikulum pelatihan.
Hal itu dikemukakan Zubairi Djoerban dari Kelompok Diskusi Khusus AIDS FKUI/RSCM dalam simposium “Memperkuat Layanan dan Jaringan CST” di Jakarta, Kamis (28/12).
Menurut Zubairi, saat ini obat antiretroviral (ARV) tersedia gratis di sejumlah rumah sakit. Nanun, pasien hanya bisa mengakses obat ini dengan resep dokter. Untuk itu perlu dokter yang kompeten dalam penatalaksanaan HIV/AIDS. Kompetensi itu didapat dari pelatihan. Dokter juga perlu mengikuti pendidikan berkelanjutan untuk mengikuti perkembangan di bidang biomedik.
“Mengobati pasien dengan HIV tidak bisa begitu saja. Perlu pemahaman mengenai spesifikasi obat dan efek samping terkait kondisi kesehatan pasien,” ujar Zubairi, guru besar FKUI.
Ia mencotohkan ARV lini pertama umumnya terdiri atas zidovudine, lamivudine, dan nevirapine. Jika pasien menderita anemia, maka zidovudine perlu diganti dengan stavduine. Jika pasien mengalami alergi atau gangguan hati, maka nevirapine diganti dengan efavirenz.
Nevirapine tidak boleh diberikan kepada pasien dengan CD4 relatif tinggi (pada perempuan CD4 lebih dari 250 sel/mm3, pada laki-laki CD4 lebih dari 400 sel/mm3) karena efek samping justru lebih banyak. “Sekitar 80 persen pasien HIV akibat narkoba suntik juga mengidap hepatitis C,” tuturnya.
Pasien dengan hepatitis C perlu diperhatikan kadar CD4-nya sebelum diberi obat antihepatitis C interferon. Pasalnya, interferon menekan lekosit, sehingga kadar CD4 akan makin merosot. Interferon baru bisa diberikan setelah kadar CD4 dinaikkan menjadi lebih dari 200 sel/mm3.
Saat ini Kelompok Diskusi Khusus AIDS FKUI/RSCM menyediakan layanan konsultasi klinik bagi dokter yang menatalaksana kasus HIV/AIDS. Layanan itu lewat alamat e-mail: pokdi_consult@yahoo.co.id.
Samsuridjal Djauzi juga dari Kelompok Diskusi Khusus AIDS FKUI/RSCM, menyatakan bahwa pencapaian CST (care, support and treatment) di Indonesia menggembirakan. Saat ini ada 260 tempat layanan tes HIV sukarela (voluntary counselling and testing/VCT), obat ARV juga mendapat subsidi penuh, bahkan ARV lini kedua untuk mengalami resistensi obat sudah tersedia. Obat antijamur yang cukup mahal juga tersedia gratis. Jumlah pengguna ARV tercatat 8.000 orang di seluruh Indonesia.
Kini pengidap HIV bisa kembali sehat dan produktif. Untuk mendorong kemandirian mereka, perlu dukungan sosial dari pemerintah dan masyarakat. Antara lain memberi kesempatan mereka untuk kembali bersekolah, bekerja, serta kredik lunak bagi yang hendak berwirausaha.