Apakah Ganja Mengurangi Peradangan pada Orang dengan HIV?
Oleh: Liz Highleyman, POZ.com
Tanggal: 9 Juli 2024
Diadaptasi tim Spiritia: 17 Oktober 2024
Penelitian telah menemukan bahwa sekitar sepertiga dari orang yang hidup dengan HIV baru-baru ini menggunakan mariyuana, dan hingga 75% pernah menggunakannya selama hidup. Ganja lebih mudah diperoleh daripada sebelumnya karena penggunaan rekreasionalnya legal di hampir setengah negara bagian AS, dan sebagian besar negara bagian lainnya mengizinkan penggunaan ganja medis. Ganja dan komponennya telah terbukti meningkatkan nafsu makan dan meredakan nyeri, mual, dan insomnia. Terlebih lagi, tampaknya ganja memiliki sifat anti-inflamasi.
Orang dengan HIV—bahkan mereka yang menjalani pengobatan antiretroviral yang efektif—mungkin memiliki lapisan usus yang rusak dan peradangan kronis yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit penyerta. Efek ganja pada fungsi kekebalan tubuh pada orang dengan HIV belum sepenuhnya dipahami, tetapi beberapa penelitian terbaru menjelaskan pertanyaan ini.
Sebuah studi kecil oleh para peneliti di University of North Carolina Chapel Hill dan Duke University menemukan bahwa di antara orang dengan HIV yang menjalani terapi antiretroviral dengan penekanan virus, penggunaan ganja terkait dengan perubahan pada sistem kekebalan tubuh. Ini menyebabkan peningkatan jumlah sel kekebalan pemula (disebut sel T naif), penurunan jumlah sel kekebalan yang bertugas melawan infeksi (disebut sel T efektor), dan penurunan berbagai tanda aktivitas sistem kekebalan tubuh menandakan penurunan peradangan.
Lebih jauh, pengguna ganja memiliki lebih sedikit sel T yang kelelahan atau sel tua (senescent) dibandingkan dengan mereka yang bukan pengguna. "Senescent" merujuk pada sel atau organisme yang berada dalam kondisi penuaan atau penurunan fungsi. Dalam konteks sel, sel-sel senescent adalah sel-sel tua yang sudah berhenti membelah tetapi belum mati. Sel-sel ini dapat menumpuk seiring waktu dan sering mengeluarkan zat-zat inflamasi yang bisa memengaruhi sel-sel di sekitarnya, berkontribusi pada perubahan yang terkait dengan penuaan di tubuh. Penggunaan ganja tidak terkait dengan respons sel T CD8 spesifik HIV atau perubahan ukuran reservoir virus dalam sel T CD4.
Dalam studi lain yang dilakukan oleh para peneliti di Kanada, 10 orang HIV-positif yang menjalani terapi antiretroviral diacak untuk menerima kapsul yang mengandung dosis cannabidiol (CBD) yang terus ditingkatkan dengan atau tanpa delta9-tetrahydrocannabinol (THC), dua dari komponen aktif dalam mariyuana. Para peneliti mengamati berkurangnya kerusakan pada lapisan usus, berkurangnya kelelahan sel T (seperti yang ditunjukkan oleh ekspresi PD-1), lebih sedikit monosit yang teraktivasi dan sel CD4 dan CD8 yang senescent, serta berkurangnya biomarker inflamasi (peradangan). Dalam penelitian ini juga menunjukkan tidak ada perubahan pada reservoir DNA HIV dalam sel CD4 perifer.
"Temuan awal ini mendukung evaluasi lebih lanjut dibutuhkan terhadap penggunaan kapsul kanabinoid yang diberikan secara oral dalam uji klinis yang lebih besar sebagai strategi potensial untuk membantu meringankan peradangan kronis yang dialami oleh orang dengan HIV meskipun menjalani terapi antiretroviral," peneliti menyimpulkan.
Di sisi lain, sebuah penelitian yang dilakukan di Zambia menunjukkan penggunaan ganja dapat mengubah reservoir jaringan HIV. Para peneliti menganalisis sampel otak dan jaringan lain dari otopsi 20 pria dengan HIV yang mengalami penekanan virus pada saat kematian, setengahnya dinyatakan positif menggunakan ganja. Pria yang menggunakan ganja cenderung tidak memiliki DNA HIV yang terdeteksi di jaringan mereka, dan mereka yang menggunakannya memiliki kadar yang lebih rendah. Kadar sitokin inflamasi dalam jaringan limfoid juga lebih rendah.
Tiga penelitian yang dipresentasikan pada Konferensi Retrovirus dan Infeksi Oportunistik (CROI) tahun ini menjelaskan lebih lanjut efek imunologis ganja pada orang dengan HIV.
Robert Langat, PhD, dari University of Minnesota, dan rekan-rekannya membandingkan fungsi kekebalan tubuh dan kesehatan usus di antara orang-orang yang menjalani terapi antiretroviral yang menggunakan dan tidak menggunakan ganja. Meskipun jumlah sel T secara keseluruhan tidak berbeda, pengguna ganja memiliki lebih sedikit sel T CD4 dan CD8 yang aktif, yang menunjukkan aktivasi kekebalan yang lebih rendah dan lebih sedikit peradangan. Pengguna ganja juga menunjukkan bukti peningkatan kekebalan mukosa di usus dan perbedaan dalam mikrobioma bakteri mereka. "Penggunaan ganja berpotensi meredakan peradangan terkait HIV melalui perubahan dalam struktur dan fungsi komunitas mikroba," tulis peneliti studi tersebut.
Para peneliti dari Jerman dan Belanda menganalisis efek ganja pada DNA dan fungsi kekebalan pada lebih dari 1.800 orang HIV-positif dengan supresi virus, sekitar 20% di antaranya melaporkan penggunaan ganja. Orang yang merokok ganja menunjukkan perubahan dalam metilasi DNA, suatu proses yang mengaktifkan atau menonaktifkan gen. Beberapa perubahan ini sebelumnya terlihat pada perokok tembakau dalam penelitian lain. Modifikasi ini dikaitkan dengan efek pro-inflamasi dan anti-inflamasi pada sel-sel kekebalan dan produksi sitokin. Perubahan DNA yang terkait dengan inhalasi ganja dapat memengaruhi respons kekebalan pada orang dengan HIV, jadi penelitian yang mengamati peradangan harus mencatat dan mengendalikan penggunaan ganja, para peneliti menyarankan.
Studi Belanda lainnya bertujuan untuk memisahkan efek antiinflamasi ganja dari efek proinflamasi merokok pada hampir 1.900 orang yang menjalani terapi antiretroviral. Penggunaan ganja dikaitkan dengan peningkatan regulasi 15 protein dan penurunan regulasi 50 protein. Fungsi kekebalan tubuh secara umum tidak berbeda antara pengguna ganja dan bukan pengguna ganja, tetapi penggunaan tembakau dikaitkan dengan ekspresi protein terkait kekebalan tubuh yang luas, peningkatan produksi sitokin inflamasi, dan perubahan sel kekebalan tubuh. "Hasil kami menunjukkan bahwa ganja memiliki efek antiinflamasi sistemik, dan sedikit efek pada fungsi kekebalan tubuh, bahkan ketika digunakan melalui inhalasi," para peneliti menyimpulkan.
Secara keseluruhan, hasil studi ini menunjukkan bahwa penggunaan ganja—terutama dengan metode selain merokok—mungkin memiliki efek menguntungkan pada fungsi kekebalan tubuh dan peradangan pada orang yang hidup dengan HIV. Namun, uji klinis terkontrol acak dari pemberian ganja atau kanabinoid masih kurang. Penelitian baru ini konsisten dengan temuan tinjauan tahun 2021 terhadap studi manusia dan hewan, yang menemukan bahwa kanabinoid, terutama CBD, bersifat anti-inflamasi dalam kondisi HIV, sebagian karena dapat mendorong stabilisasi lapisan usus. "Ganja dapat memberikan intervensi yang bermanfaat untuk mengurangi morbiditas yang terkait dengan peradangan pada orang dengan HIV," peneliti menyimpulkan.
Namun, ganja bukanlah obat mujarab. Sebuah studi besar yang baru-baru ini diterbitkan dalam Journal of the American Heart Association, yang mensurvei lebih dari 430.000 orang yang sebagian besar negatif HIV, menemukan bahwa penggunaan ganja dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner, serangan jantung, dan stroke. Penggunaan ganja dalam jangka panjang dapat berdampak negatif pada suasana hati, kognisi, dan memori. Beberapa studi menemukan bahwa penggunaan ganja dapat mengganggu kepatuhan terhadap pengobatan antiretroviral. Terlebih lagi, merokok ganja, seperti rokok tembakau, dapat merusak paru-paru dan dapat meningkatkan risiko kanker, jadi menggunakan bentuk ganja yang dapat dimakan atau CBD bisa menjadi pilihan yang lebih baik.
Artikel asli: Does Cannabis Reduce Inflammation in People With HIV?
Tautan asli: https://www.poz.com/article/cannabis-may-reduce-inflammation-people-hiv
Image credit: poz.com