WHO merevisi pedoman skrining dan pengobatan lesi pra-kanker untuk pencegahan kanker serviks
Oleh: Tim Spiritia, 12 Februari 2024
Kanker serviks merupakan penyebab utama kematian pada perempuan. Pada tahun 2020, diperkirakan 604.000 perempuan didiagnosis menderita kanker serviks di seluruh dunia dan sekitar 342.000 perempuan meninggal karena penyakit tersebut. Kanker serviks merupakan kanker yang paling sering didiagnosis di 23 negara dan merupakan penyebab utama kematian akibat kanker di 36 negara.
Pada bulan November 2020, WHO meluncurkan strategi Global untuk mempercepat eliminasi kanker serviks, termasuk target berikut untuk masing-masing dari tiga pilar pada tahun 2030:
90% cakupan vaksinasi human papillomavirus (HPV) pada anak perempuan yang memenuhi syarat
70% cakupan skrining dengan tes kinerja tinggi
90% perempuan dengan tes skrining positif atau lesi serviks ditangani dengan tepat.
Salah satu bidang fokus yang disepakati adalah memperbarui rekomendasi WHO mengenai skrining dan pengobatan untuk mencegah kanker serviks, dan menyederhanakan algoritmanya.
Secara umum, ringkasan rekomendasi WHO mengenai skrining dan pengobatan untuk mencegah kanker serviks pada perempuan populasi umum adalah sebagai berikut:
WHO merekomendasikan penggunaan deteksi DNA HPV sebagai tes utama dibandingkan IVA atau sitologi (Pap smear) dalam pendekatan skrining dan pengobatan pada perempuan populasi umum.
WHO menyarankan penggunaan tes skrining primer DNA HPV baik dengan triase atau tanpa triase untuk mencegah kanker serviks pada perempuan populasi umum.
Jika DNA HPV memiliki hasil positif, WHO menyarankan untuk mengobati. Dalam pendekatan skrining, triase, dan pengobatan yang menggunakan deteksi DNA HPV sebagai tes skrining utama pada perempuan populasi umum, WHO menyarankan penggunaan genotipe parsial, kolposkopi, IVA, atau sitologi untuk melakukan triase pada perempuan setelah tes DNA HPV positif.
Saat melakukan tes DNA HPV, WHO menyarankan untuk menggunakan sampel yang diambil oleh penyedia layanan kesehatan atau sampel yang diambil sendiri dari perempuan populasi umum.
WHO merekomendasikan untuk memulai skrining kanker serviks secara rutin pada usia 30 tahun pada perempuan populasi umum.
Setelah usia 50 tahun, WHO menyarankan skrining dihentikan setelah dua kali hasil skrining negatif berturut-turut sesuai dengan interval skrining rutin yang direkomendasikan bagi perempuan populasi umum.
Prioritas skrining adalah pada perempuan populasi umum berusia 30–49 tahun. Ketika alat tes tersedia untuk menangani perempuan berusia 50–65 tahun, mereka yang berada dalam kelompok usia tersebut dan belum pernah melakukan skrining juga harus diprioritaskan.
WHO menyarankan interval skrining rutin setiap 5 hingga 10 tahun ketika menggunakan deteksi DNA HPV sebagai tes skrining utama pada perempuan populasi umum.
Apabila tes DNA HPV belum dapat dilakukan, WHO menyarankan interval skrining rutin setiap 3 tahun dengan menggunakan IVA atau Pap smear sebagai tes skrining utama pada perempuan populasi umum.
Ketika melakukan transisi ke program dengan interval skrining reguler yang direkomendasikan, skrining bahkan dua kali seumur hidup akan bermanfaat bagi perempuan populasi umum.
WHO menyarankan agar perempuan populasi umum yang hasil skriningnya positif pada tes skrining primer DNA HPV dan kemudian negatif pada tes triase, dites ulang dengan tes DNA HPV pada 24 bulan kemudian dan, jika negatif, pindah ke interval jadwal skrining reguler yang direkomendasikan.
WHO menyarankan agar perempuan dari populasi umum yang hasil skriningnya positif pada tes sitologi (Pap smear) dan kemudian mendapatkan hasil normal pada kolposkopi untuk melakukan tes ulang dengan tes DNA HPV pada 12 bulan dan, jika negatif, lanjutkan ke skrining rutin sesudah dengan jadwal yang direkomendasikan.
WHO menyarankan bahwa perempuan dari populasi umum yang diobati karena CIN2/3 atau adenokarsinoma in situ (AIS) yang dikonfirmasi secara histologis, atau diobati karena hasil tes skrining positif, dites ulang pada 12 bulan dengan tes DNA HPV jika tersedia. Jika negatif, lanjutkan ke interval jadwal skrining rutin sesuai dengan jadwal yang direkomendasikan.
* Neoplasia intraepitel serviks (Cervical intraepithelial neoplasia/CIN) adalah cara untuk menggambarkan perubahan abnormal pada sel di serviks. Neoplasia berarti pertumbuhan sel yang tidak normal dan tidak terkendali.
Dalam program yang sudah ada yang menggunakan sitologi (Pap smear) atau IVA sebagai tes skrining utama, skrining ulang dengan tes yang sama harus dilanjutkan sampai tes DNA HPV dapat dilakukan pada perempuan populasi umum.
Khusus bagi perempuan dengan HIV, rekomendasinya adalah sebagai berikut:
WHO merekomendasikan penggunaan deteksi DNA HPV sebagai tes utama dibandingkan IVA atau sitologi (Pap smear) dalam pendekatan skrining dan pengobatan pada perempuan dengan HIV.
WHO menyarankan penggunaan tes skrining primer DNA HPV baik dengan triase atau tanpa triase untuk mencegah kanker serviks pada perempuan dengan HIV.
Dalam pendekatan skrining, triase, dan pengobatan yang menggunakan deteksi DNA HPV sebagai tes skrining utama pada perempuan dengan HIV, WHO menyarankan penggunaan genotipe parsial, kolposkopi, IVA, atau sitologi untuk melakukan triase pada perempuan setelah tes DNA HPV positif.
Saat melakukan tes DNA HPV, WHO menyarankan untuk menggunakan sampel yang diambil oleh penyedia layanan kesehatan atau sampel yang diambil sendiri dari perempuan dengan HIV.
WHO merekomendasikan untuk memulai skrining kanker serviks secara rutin pada usia 25 tahun pada perempuan dengan HIV.
Setelah usia 50 tahun, WHO menyarankan skrining dihentikan setelah dua kali hasil skrining negatif berturut-turut sesuai dengan interval skrining rutin yang direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV.
Prioritas skrining adalah pada perempuan populasi umum berusia 25–49 tahun. Ketika alat tes tersedia untuk menangani perempuan berusia 50–65 tahun, mereka yang berada dalam kelompok usia tersebut dan belum pernah melakukan skrining juga harus diprioritaskan.
WHO menyarankan interval skrining rutin setiap 3 hingga 5 tahun ketika menggunakan deteksi DNA HPV sebagai tes skrining utama pada perempuan populasi umum.
Apabila tes DNA HPV belum dapat dilakukan, WHO menyarankan interval skrining rutin setiap 3 tahun dengan menggunakan IVA atau Pap smear sebagai tes skrining utama pada perempuan dengan HIV.
Ketika melakukan transisi ke program dengan interval skrining reguler yang direkomendasikan, skrining bahkan dua kali seumur hidup akan bermanfaat bagi perempuan dengan HIV.
WHO menyarankan agar perempuan populasi umum yang hasil skriningnya positif pada tes skrining primer DNA HPV dan kemudian negatif pada tes triase, dites ulang dengan tes DNA HPV pada 12 bulan kemudian dan, jika negatif, pindah ke interval jadwal skrining reguler yang direkomendasikan.
WHO menyarankan agar perempuan dengan HIV yang hasil skriningnya positif pada tes sitologi (Pap smear) dan kemudian mendapatkan hasil normal pada kolposkopi untuk melakukan tes ulang dengan tes DNA HPV pada 12 bulan dan, jika negatif, lanjutkan ke skrining rutin sesudah dengan jadwal yang direkomendasikan.
WHO menyarankan bahwa perempuan dari populasi umum yang diobati karena CIN2/3 atau adenokarsinoma in situ (AIS) yang dikonfirmasi secara histologis, atau diobati karena hasil tes skrining positif, dites ulang pada 12 bulan dengan tes DNA HPV jika tersedia. Jika negatif, tes kembali pada 12 bulan dan jika hasilnya kembali negative dilanjutkan ke interval jadwal skrining rutin sesuai dengan jadwal yang direkomendasikan.
* Neoplasia intraepitel serviks (Cervical intraepithelial neoplasia/CIN) adalah cara untuk menggambarkan perubahan abnormal pada sel di serviks. Neoplasia berarti pertumbuhan sel yang tidak normal dan tidak terkendali.
Dalam program yang sudah ada yang menggunakan sitologi (Pap smear) atau IVA sebagai tes skrining utama, skrining ulang dengan tes yang sama harus dilanjutkan sampai tes DNA HPV dapat dilakukan pada perempuan dengan HIV.
Rekomendasi penanganan bagi populasi perempuan dengan HIV dan perempuan populasi umum adalah sebagai berikut:
Ketika keputusan penanganan kasus telah dibuat, praktik yang terbaik adalah dengan memberikan pengobatan sesegera mungkin dalam waktu enam bulan untuk mengurangi risiko mangkir (lost to follow up). Namun, pada perempuan yang sedang hamil, praktik yang terbaik adalah dengan menunda penanganan sampai setelah kehamilan berakhir. Jika pengobatan tidak diberikan dalam jangka waktu tersebut, sebaiknya lakukan evaluasi ulang sebelum melakukan penanganan atau pengobatan.
WHO menyarankan eksisi zona transformasi besar (large-loop excision of the transformation zone/LLETZ) atau konisasi pisau dingin (cold knife conization/CKC) bagi perempuan yang memiliki adenokarsinoma in situ (AIS) yang terkonfirmasi secara histologis.